Pada Januari 2010 Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas
ASEAN-China (ACFTA) diberlakukan, membuat produk China laku keras dan menguasai
setiap Lini di Negeri ini. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 milliar dolar
AS, sedangkan nilai impor China sebesar 52 milliar dolar AS. Nilai impor China
yang menaik hingga 45,9% dan berkontribusi 15% dari total impor Indonesia
seperti mainan anak 72%, furniture 54%, elektronik 90%, tekstil dan produk
tekstil (TPT) 33%, permesinan 22,22% dan logam 18%.
Harga produk China lebih
murah dan cepat laku dibandingkan dengan produk lokal. Dari sisi konsumen juga
untuk membedakan produk China dengan produk lokal tidaklah mudah. Apalagi China
banyak menggunakan merek yang nuansanya lokal. Penyebab inilah yang membuat
bingung masyarakat memilih mana produk lokal dan mana produk China.
Ini tentunya menuaikan
dampak negative, seperti Sektor Industri Manufaktur beralih ke Sektor Perdagangan hingga 20%,
karena mereka beranggapan perdagangan akan lebih menguntungkan dibandingkan
dengan Industri yang semakin menurun karena produk lokal kalah dengan produk
China. Kemudahan mendapatkan produk dengan harga murah dan mudah, itulah
sebabnya mereka beralih menjadi pedagang. Seperti contoh serbuan Produk China
membuat kekhawatiran para pelaku usaha Industri rotan, mebel kayu, tekstil,
logam, dan batik karena penghasilan produk lokal yang semakin menurun.
Bahan baku yang mahal,
biaya produksi tinggi, dan teknologi yang digunakan terbatas membuat penurunan
produksi produk lokal, seperti produk TPT Indonesia yang semakin sulit
menghadapi produk China karena pembelian mesin tekstil dan produk tekstil
dikenai lagi biaya masuk 5%.
Peraturan banyak tapi
pengawasannya tidak kuat. Masih banyak penyelundupan dan kenaikan harga,
seperti naiknya harga kapas yang menjadi masalah industri dunia. Industri TPT
Indonesia harus impor bahan 95%kapas, sedangkan China sudah mengantongi bahan
baku kapas 80% dan sisanya baru impor.
Strategi yang lemah dan
kurang dikembangkan menyulitkan Indonesia sulit berkompetensi dengan China.
Ironisnya, bahan baku alternatif serat rayon dari bubur kertas (PULP) yang bisa
diolah dengan baik, ini justru tidak diperkuat dalam negeri dan masih harus
impor dari Afrika Selatan, Brazil, dan Kanada. Dan juga polyester sebagai
turunan dari minyak bumi.
Strategi Indonesia masih
lemah, seharusnya kita bisa gencar dalam memanfaatkan tanaman industri yang
dapat dikembangkan kesisi hilir. Tapi pada kenyataannya bahan baku mahal
sehingga menyulitkan masyarakat berkompetensi menghadapi serbuan produk China .
seperti halnya mebel yang sulit bersaing di tenggara akibat perhutani mematok harga
barang baku terlampau tinggi.
Harga bahan baku industri
mahal sudah diketahui Pemerintah. Hasil survei Kementerian Perindustrian tampak
jelas betapa mahalnya bahan baku, kurangnya pasokan komponen, factor permodalan
yang sulit dan mahalnya energi. Inilah yang menjadi faktor-faktor penyebab
kekalahan daya saing.
Kementerian perindustrian
melakukan survei langsung ke shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya
praktik banting harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke
Indonesia. China telah menerapkan politik dumping dari 100 barang yang di
ekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk mereka dengan harga murah dibandingkan
harga pasar lokal mereka.
Meski demikian, menteri
perdagangan menegaskan ACFTA tidak perlu dibatalkan. Dampak negative ini masih
bisa diatasi dengan negosiasi antara Pemerintah dan Pelaku Usaha yaitu dengan
cara Pemerintah meminta China mengevaluasi barang-barang yang di ekspor ke
Indonesia.
Berbagai solusi dapat
dilakukan oleh Indonesia, seperti diadakannya pertemuan atau kesepakatan dari
semua pihak yang berhubungan langsung dengan ACFTA seperti Menteri ESDM,
Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Industri, Assosiasi pengusaha
dan lain sebagainya. Untuk membahas masalah ini dan mencari solusi serta
berbagai alternatif yang dapat dilakukan.
Kementerian Perdagangan tidak
bisa melepas ini ke mekanisme pasar, Pemerintah harus mengakali situasi pelik
ini. Pemerintah perlu mengambil kebijakan afirmatif (berpihak) pada kepentingan
Nasional.
- Produk China harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk memperketat produk dengan mutu rendah. Pengawasan SNI harus diterapkan pada setiap Lini Produk. Produk yang tidak memenuhi kualifikasi wajib ditarik dari peredaran.
- Pemerintah bisa memberikan insentif pada pengusaha lokal untuk menggenjot daya ekspor. Bentuk insentif ini dapat berupa pinjaman, hibah, dan bantuan. Focus insentif ini bisa disalurkan pada usaha kecil menengah
- Kebijakan pembatasan jumlah impor pada barang tertentu masih sangat perlu. Terutama, barang yang berpotensi merusak iklim ekonomi Nasional.
- Adanya pelatihan kompetensi dan skill serta edukasi dalam rangka pemberdayaan. Misalnya dengan diadakan pelatihan wirausaha, akutansi, dan sebagainya.
- Kementerian Perdagangan dalam negeri harus memperkuat pasar Nasional.
- Infrastruktur dan birokrasi harus dibenahi agar kegiatan ekonomi di Indonesia dapat berjalan dengan lancer. Sehingga efisien waktu dan penghematan biaya lebih terjangkau.
Kalau
memang Indonesia mau berhadapan langsung dengan China, kita harus bisa
memperbaiki system yang kita milikiseperti permodalan UMKM, dan diperkuat
dengan kemudahan kredit oleh perbangkan. Jika harga suplay bahhan baku dan energy
tidak bisa tidak bisa diturunkanmaka kita perlu mencari bahan baku dan berbagai
energy alternative yang banyak dii produksi di Indonesia.
Regulasi pemerintah harus ada, seperti peraturan
pemerintah, intruksi Presiden dan keputusan bersama beberapa menteri untuk
memberi kemudahan baik itu dalam hal bentuk, pengurangan beba masuk bahan baku,
pengurangan bea keluar barang ekspor, memperkecil pajak usaha, kemudahan
distribusi dan lain sebagainya.
Alternative yang dapat dilakukan jika produk-produk lokal
tidak sanggup berhadapan langsung dengan produk China yaitu dengan cara cari
produk-produk unggulan kita yang memang bisa mengalahkan China dengan adanya
peningkatan produk. Produk-produk itulah yang harus diperkuat dan ditingkatkan
kualitasnya, jadi otomatis bisa meningkatkan pendapatan dan kita tidak defsit
lagi.
Kredo cinta produk dalam negeri juga perlu digalakkan. Seperti
batik, masyarakat masih kurang pemahaman tentang cara membedakan produk Lokal
dan Produk China. Harusnya masyarakat diberi pemahaman perbedaan produk antara
keduanya. Sosialisasikan ke masyarakat tentang cara membedakan produk China dan
produk Indonesia serta berbagai keuntungan dari produk Indonesia.
Kesimpulannya, jika 50% saja dari penduduk Indonesia ini
bisa benar-benar mencintai produk dalam negeri secara logika maka efek yang
akan dihasilkan akan luar biasa. Maka kenalilah produk Indonesia dan cintailah
produk dalam negerisendiri.
0 komentar:
Posting Komentar